bisnis

Sabtu, 03 Desember 2011

MERDEKA (cerpen: Putu Wijaya)


Pada hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan, seorang anak lahir di sebuah kota kecil. Bapaknya, seorang bekas pejuang kemerdekaan, menimang orok itu dengan bangga.

“Selamat datang ke atas dunia. Selamat datang di Indonesia, anakku,” kata lelaki yang bahagia itu. “Kau adalah harapanku, masa depanku dan pewarisku. Aku beri kau nama Merdeka dan jadilah kusuma bangsa. Tulis sejarah yang berbeda dari apa yang sudah aku alami di masa lalu. Merdekakan diri kamu dari segala macam penjajahan, jangan seperti bapakmu ini. Bebaskan negeri ini dari kemiskinan. Merdekakan rakyat dari kesengsaraan akibat kezaliman para pemimpinnya sendiri. Jadilah masa depan kami semua!”

Merdeka kecil, sudah bisa mendengar, tetapi belum bisa menyimak. Ia hanya membuka mulutnya dan tertawa. Bapaknya tersenyum dan berbisik.

“Syukur kamu sudah mendengar apa yang aku katakan. Mudah-mudahan nanti, setelah kamu dewasa dan mengerti apa yang aku katakan, kamu masih bisa tertawa.”

Duapuluh tahun kemudian, Merdeka tumbuh dan dewasa. Ia menjadi seorang anak muda yang gagah. Wajahnya cakap. Otaknya encer. Barangkali juga terlalu cerdas untuk ukuran seusia dia. Ia sangat enerjetik dan suka membantah.

Teman-teman Merdeka semua suka dan segan pada Merdeka. Tetapi guru-gurunya sebaliknya. Mereka kesal.

“Merdeka adalah seorang anak yang hebat. Dia jenius. Dia bisa menjadi pemimpin di masa depan untuk negeri ini. Jenis orang seperti Merdeka sangat kita butuhkan di zaman millenium ini. Tapi sayang dia terlalu PD,” kata guru-gurunya.

“Andaikan saja dia lebih rendah hati sedikit, dia tak ayal lagi bisa menjadi harapan kita semua,” lanjut gurunya yang lain. “Karena di masa globalisasi, ketika kita akan bersaing secara terbuka dengan seluruh dunia, kita memerlukan SDM yang canggih. Merdeka adalah contohnya. Tetapi sayang, dia terlalu cepat matang. Di dalam menuntut ilmu, mula-mula yang diperlukan adalah menyerap, bukan bersikap. Kalau belum apa-apa sudah bersikap, sebagaimana yang dilakukan oleh Merdeka, kita akan konyol. Kita tidak akan mungkin bisa maju. Lihat saja, di dalam ilmu pasti, pada dalil satu dan dua kita harus mau menerima saja dulu, tidak boleh membantah. Nah nanti sesudah dalil tiga boleh pertanyakan apa saja dengan logika. Sesudah menguasai ilmu, perkara mau mendobrak atau melabrak, itu terserah. Tapi tidak mungkin memberontak sebelum menguasai. Jadi Merdeka sudah salah paham.”

Merdeka tidak peduli apa yang dikatakan guru-gurunya. Ia lapar ilmu. Ia buka mulutnya lebar-lebar untuk mereguk. Dia tidak peduli sama sekali apa perasaan guru-gurunya. Kalai ia tak setuju, tanpa pertimbangan lagi ia protes. Tidak pandang tempat dan waktu, ia langsung dobrak.

Sebagai akibatnya, Merdeka dikenal sebagai anak yang berani. Ia ditakuti tetapi sekaligus dikucilkan. Guru-guru ngeper semua kalau ada Merdeka. Akhirnya karena kasus yang sangat sepele, Merdeka dipecat dari sekolah.

Ketika teman-temannya menamatkan pelajaran dan pada mengantongi ijazah, Merdeka hanya mengantongi pengetahuan. Tetapi ia tidak kecil hati. “Aku hanya memerlukan pengetahuan, aku tidak memerlukan ijazah,” katanya. Dengan bekal kepintarannya itu, ia terjun ke masyarakat dan mereguk hidup yang sebenarnya.

Di masyarakat, kenyataan berbeda dengan apa yang dibicarakan di dalam kelas. Walaupun semua orang setuju bahwa ilmu pengetahuan adalah utama, pada prakteknya, yang menentukan orang dapat pekerjaan adalah ijazah. Ke mana Merdeka pergi, dia selalu diminta untuk memperlihatkan ijazahnya sebelum mereka mau membuka pintu. Dan waktu mereka tahu Merdeka tak punya ijazah, pintu langsung ditutup.

“Boleh ngomong besar tapi mana bukti. Mana dokumen rekomendasi?”

Teman-teman Merdeka yang goblok, semua mendapat pekerjaan dan jabatan. Bahkan yang dulu lulus karena membeli ijazah dan nodong kepala sekolah, mendapat posisi penting. Merdeka melihat kejanggalan itu dengan jijik. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Kontan ia mencak-mencak, berkoar menggelar aksi protes. Tetapi kepada siapa? Ternyata semua orang hanya mengaku menyuarakan keadilan dan kebenaran. Bila waktunya tiba untuk menunjukkan aksi, semuanya punya alasan untuk menghindar. Bahkan surat-surat kabar yang paling vokal, tak berani memuat gugatannya, ketika itu menyentuh orang yang berkuasa yang mampu menyumpalnya dengan duit.

“Kalian semua hanya ngomong-ngomong muluk, prakteknya semua dagang. Segala kegombalan yang kalian maki-maki, nyatanya kalian kaji sendiri!” teriak Merdeka.

Merdeka mulai marah dan benci pada kehidupan, karena hidup berpihak pada ketidakadilan. Ia menjadi sinis dan apatis. Dunia yang dibayangkannya sebagai lautan harapan, sekarang sudah menjadi sarang kebobrokan. Masa depan hanya enak dalam obrolan, pada kenyataannya semua kentut.

Tetapi untunglah tidak semua yang hitam itu hitam. Rupanya di dalam belantara kebrengsekan itu, masih ada orang-orang yang idealis. Setelah kepalanya bonyok ditonjok oleh rasa kesal, Merdeka bertemu dengan seorang yang berpihak pada kebenaran.

“Memang ijazah itu perlu, karena itulah satu-satunya yang bisa jadi pegangan kita untuk memilih orang terbaik. Tetapi diploma sekarang gampang saja dipalsu. Dan keunggulan yang digaransi oleh sebuah ijazah pun hanya keunggulan di sekolah, sedangkan kita menggarap hidup keras di lapangan yang memerlukan siasat. Sesuatu yang lupa diajarkan di sekolah mana pun. Jadi saudara Merdeka, jangan merasa kesepian. Aku tidak buta. Aku melihat potensimu. Persetan dengan ijazah, bukan orang-orang yang bertopeng ijazah itu yang akan memperbaiki negeri ini, tetapi SDM hebat seperti kamu!”

Merdeka lantas dirangkulnya. Diberikan tanggungjawab untuk memimpin sebuah proyek raksasa yang menentukan nasib berjuta-juta orang. Merdeka disodori jabatan, kekuasaan dan harapan. Merdeka kontan sembuh. Ia terima jabat tangan itu dan siap hendak berpacu.

Tetapi apa lacur, pada hari pengangkatannya sebagai panglima proyek, orang yang merangkulnya muncul membawa segepok uang. Dengan muka manis tetapi malu-malu, ia menarik Merdeka ke sudut.

“Merdeka,” katanya seperti suara orang yang bersalah, “kita semua tahu, setiap orang mencari pekerjaan, untuk mendapatkan uang. Betul tidak?”

Merdeka mengangguk. Betul.

“Nah, berarti kamu juga bekerja untuk mendapatkan uang. Kalau uang yang kamu cari itu sudah kamu dapatkan, buat apa lagi pekerjaan. Ya kan? Jadi, lihat aku bawakan kamu uang banyak sekali. Terimalah uang ini. Dan serahkan jabatan yang sudah ada di tanganmu ini kembali kepadaku. Karena ada seorang anak pejabat yang memerlukan itu. Ia punya duit. Banyak sekali. Tetapi ia tidak punya kehormatan karena tidak ada jabatan. Ia membeli jabatan kamu. Jadi terimalah! Kamu untung dan aku juga untung!”

Tanpa menunggu jawaban lagi, jabatan itu diambilnya kembali sambil menaruh segepok uang di tangan Merdeka. Sebelum Merdeka bisa mencegahnya ia sudah kabur. Merdeka menjadi histeris. Uang itu dicampakannya sambil mengumpat.

“Bangsat! Aku memang perlu uang. Aku tahu untuk hidup orang membutuhkan uang. Tapi aku tidak hidup untuk mencari uang. Aku cari uang untuk hidup. Dan aku hidup untuk menjalankan amanat bapakku untuk membangun bangsa ini. Untuk menjadi manusia yang berarti dan berbuat kebajikan kepada negeri dan rakyatku!”

Suara Merdeka lantang dan jelas. Tapi orang idealis itu sudah ngibrit entah ke mana. Tinggal Merdeka yang sekarang benar-benar merasa nasibnya sangat sialan. Ia berteriak-teriak karena tak mampu lagi menahan dirinya. Orang-orang bilang bahwa anak muda itu sudah mulai terganggu.

“Kamu kelihatannya frustasi Merdeka,” kata seorang sahabat. “Di zaman edhan ini, siapa yang tidak frustasi. Kalau kamu ikutkan perasaanmu kamu akan gila. Tetapi semua orang memang sudah gila. Kamu tidak akan menjadi istimewa karena menjadi gila. Lebih baik kamu lawan semua itu!”

“Lawan? Lawan dengan apa? Musuhku tidak kelihatan. Kalau ada aku hajar sekarang juga!”

“Lawan dengan cara menerimanya! Pasrah!”

“Tidak! Aku tidak mau jadi orang Jawa yang nrimo. Itu sudah kuno! Aku manusia baru. Aku bukan proyek feodalisme yang mau saja menjadi budak segala ketidakadilan ini. Aku mau berontak!”

“Tidak mungkin! Orang gila tidak mungkin berontak. Paling banter kamu akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Kalau mau berontak jangan pakai otot, pakai mulut dan diplomasi. Belajar dari para politisi. Untuk menguasai diplomasi pikiran kamu harus tenang. Dan untuk tenang jiwa kamu harus stabil. Untuk membuat emosimu stabil, kamu harus punya seorang pendamping. Walhasil, Merdeka, satu-satunya jalan yang bisa kamu pilih sekarang adalah: kawin. Kawinlah Merdeka, sebelum terlambat!”

Merdeka terkejut.

“Apa? Kawin?”

“Ya! Menikah! Apa kamu tidak sadar bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Setiap manusia wajib punya teman hidup. Baik untuk menyalurkan kebutuhan biologis maupun untuk berkomplot. Kalau kamu tetap sendiri, kamu akan menjadi manusia separuh yang tidak lengkap. Emosimu akan labil. Dan staminamu hanya sebatas ayam sayur. Jatidirimu akan kropos. Dan kamu akan gim. Makanya, cepat-cepat saja, carilah seorang teman hidup. Berkongsi, melawan semua kebejatan dunia ini. Kalau tidak kamu akan terlambat. Coba umurmu sudah berapa sekarang? Jangan terlalu sibuk berjuang, nanti kamu keburu tua dan tidak jadi apa-apa! Apa kamu mau kedaluwarsa?”

Merdeka terkejut. Buru-buru ia berdiri di depan kaca. Lalu dilihatnya sebilah rambut putih berkibar di kepalanya. Garis-garis tua mulai turun di wajahnya. Ia tidak semuda yang ia kira lagi. Merdeka terpaksa menerima, apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu.

Lalu tanpa berpikir panjang lagi, Merdeka melamar pacarnya untuk menikah. Pacar Merdeka menyambut lamaran itu dengan senang. Setelah bertahun-tahun dan hampir kehilangan kesabaran, akhirnya Merdeka berani mengambil keputusan. Siap untuk mengambil resiko melepaskan kebebasannya, untuk memasuki status suami-istri.

Tetapi celaka tiga belas. Meskipun dukungan pacarnya seratus persen, calon mertua Merdeka bertingkah. Mereka yang semula menerima Merdeka, tiba-tiba menolak. Alasannya bagi Merdeka sama sekali tak masuk akal.

“Kamu mau menikah dengan putri tunggalku, Merdeka?” tanyanya. “Kenapa? Karena kalian saling mencintai? Apa kamu tidak tahu, cinta saja tidak cukup untuk hidup? Dalam waktu tiga bulan kamu akan bosan mengisap cinta, lalu kesulitan hidup akan mengisap kamu. Kamu memerlukan duit dan jabatan. Itulah sumber kesuksesan dan kebahagiaan. Tidak. Kamu tidak bisa menikah dengan putriku, kalau kamu tidak bisa memberikan janji yang baik. Hendak kamu bawa ke mana putri tunggalku ini. Buktikan dulu bahwa aku pantas menyerahkan anakku kepadamu. Jangan suruh aku bersabar dan menunggu. Kalau kamu tidak bisa memberikan jaminan bahwa kamu akan bisa membahagiakan dia jasmani dan rohani, relakan putriku dengan orang lain. Atau jangan-jangan kamu tertarik bukan kepada putriku, tetapi kepada warisannya. Kepada kekayaan dan jabatanku. Kalau begitu, maaf anak muda, sekarang juga minggat, tinggalkan rumah ini dan jangan berani kembali, karena aku akan tembak kepalamu!”

Merdeka pingsan. Belum pernah ia menerima kenyataan yang begitu parah.

“Aku manusia sial. Aku ditakdirkan menjadi orang gagal,” teriak Merdeka putus asa. Pikirannya benar-benar mulai terganggu. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan, apa yang harus dilakukan.

Akhirnya dalam keadaan panik dan terjepit, Merdeka datang kepada seorang dukun. Ya, dukun. Kenapa tidak. Meskipun ini zaman millenium, banyak orang masih pergi ke dukun. Para pejabat juga ke dukun. Olahragawan ke dukun. Para politikus ke dukun. Presiden juga ada yang punya dukun. Bahkan seniman juga ada yang malahan jadi dukun itu sendiri.

Dukun memegang tangan Merdeka dan membaca nasibnya.

“Sebenarnya menurut skenario, kamu ini orang jenius, seperti Pak Habibie, Merdeka,” kata dukun. “Pada dasarnya kamu adalah manusia hebat. Kamu bisa menjadi pemimpin bangsa ini di masa depan. Di dalam tubuhmu mengalir darah kesatria yang berwarna putih. Tetapi sayang pada prakteknya, kamu tidak jadi apa-apa, karena sajenmu kurang!”

“Sajen? Sajen apa?”

“Kamu tahu. Segala sesuatu itu memerlukan sajen. Otak saja tidak cukup, kepintaran saja tidak menjamin. Bahkan kelihaian juga bukan kartu kunci untuk membuat kamu sukses. Kamu memerlukan keikhlasan. Kamu harus ikhlas. Ikhlas berarti kamu tulus. Tulus berarti kamu harus rela. Rela untuk berkorban. Kamu harus mengorbankan apa yang diperlukan. Kamu tidak akan bisa sukses kalau kamu tidak berani berkorban dengan ikhlas, Merdeka!”

Merdeka terkejut.

“Berkorban? Berkorban apa? Ini sudah zaman merdeka, kita tidak memerlukan pengorbanan jiwa lagi seperti di masa revolusi seperti Bapakku. Kita memerlukan pekerja-pekerja lapangan yang canggih. Dan aku canggih. Aku tidak mau mengorbankan jiwaku. Aku mau berbakti kepada bangsa, negara dan rakyatku. Kamu jangan macam-macam, Duk!”

“Tenang Merdeka, pengorbanan ini bukan pengorbanan fisik. Ini adalah pengorbanan spiritual. Dengan berkorban, tidak berarti kamu akan kehilangan apa-apa. Kamu hanya harus mengikhlaskan dirimu kehilangan namamu. Tukar namamu sekarang. Ganti nama kamu. Jangan lagi Merdeka. Itu terlalu besar, terlalu berat untuk kamu pikul sendirian. Tidak mungkin. Kalau kamu memikulnya kamu akan terlalu sibuk memikul dan tidak akan bisa berbuat apa-apa. Jadi lepaskan saja. Ganti dengan yang lain. Oper Merdeka itu dengan sesuatu yang lebih ringan. Apa artinya nama. Ya tidak?”

Merdeka tidak setuju.

“Mengganti nama? Tidak. Tidak mungkin,” katanya. “Nama ini pemberian bapakku. Dia seorang pejuang yang hebat. Dia orang yang jujur. Dia sudah berjasa kepada negeri ini, tetapi dia tidak punya uang. Dia tidak punya pabrik. Dia tidak punya kekuasaan. Dia hanya punya cita-cita dan konsep. Dan semua itu dia wariskan kepadaku. Aku tidak bisa mengganti apa yang diwariskan oleh orang tuaku begitu saja. Karena itu adalah amanat. Aku tidak mau menjadi manusia durhaka!”

Dukun menggeleng.

“Memang susah bicara dengan orang pinter tetapi picik seperti kamu, Merdeka!” katanya sambil mengusir Merdeka supaya pergi, karena pasien-pasiennya yang lain berjubel.

Merdeka pulang sambil mencak-mencak uring-uringan. Berhari-hari ia bergulat dengan usul dukun itu. Pada hari yang ketujuh puluh, ia kalah. Lalu sambil mengenakan baju batik ia berangkat ke rumah orang tuanya.

“Romo,” kata Merdeka sambil mencium tangan bapaknya yang sudah tua. “Aku datang untuk melaporkan apa yang sudah terjadi di lapangan. Terus terang aku sudah gagal. Tetapi bukan berarti aku menyerah. Aku terus berusaha. Aku datang bukan untuk minta bantuan. Aku datang hanya untuk meminta restu. Karena aku ingin mengganti nama yang sudah bapak berikan.”

Lelaki tua itu mengernyitkan alisnya.

“Mengganti nama? Apa maksudmu Merdeka?”

“Dukun bilang, nasibku jadi sial, karena namaku terlalu berat. Kalau aku ganti nama itu dengan nama lain, dalam sekejap aku akan menjadi orang baru yang sukses. Jadi apa salahnya kalau namaku diganti. Aku juga tidak akan memilih nama sendiri. Aku serahkan kepada Romo untuk memberiku petunjuk.”

Mata orang tua itu sekarang terbuka.

“Kamu mau berhenti menjadi Merdeka, Merdeka?”

“Ya.”

“Kenapa?”

“Kenapa?”

“Ya! Kenapa!” bentak orang tuanya.

Merdeka tertegun. Waktu kecil ia tidak peduli kalau dibentak. Tetapi sekarang ia sudah dewasa, sudah jauh lebih pintar dari bapaknya, di samping itu hidupnya sudah pahit, ia tidak mau lagi dibentak.

“Karena aku tidak mau terus-menerus sial!” teriak Merdeka.

Tetapi orang tuanya semakin keras lagi mendamprat.

“Tidak!”

“Kenapa tidak!”

“Pokonya tidak!”

“Ya.”

“Tidak!”

“Yaaaaaa!”

“Tidakkkkkk!”

“Brengsek!” teriak Merdeka kelepasan. “Bapak kan tidak tahu apa yang sudah terjadi di lapangan. Aku yang berkutat di sana. Aku tahu apa yang aku lakukan. Aku yang mengalami apa yang terjadi. Sekolahku jebol, gara-gara aku Merdeka. Jabatan-jabatan copot dan luput dari tanganku gara-gara aku Merdeka. Bahkan pacarku direbut orang lain gara-gara aku Merdeka. Dukun juga bilang aku goblok, karena aku Merdeka. Aku tidak mau jadi Merdeka lagi. Sudah cukup! Aku tidak mau diperintah terus. Aku mau bebas dari Merdeka! Aku mau sukses, aku mau bahagia, aku mau berhasil, aku tidak mau lagi jadi Merdeka!”

“Goblok!” teriak bapak Merdeka sambil menampar anaknya.

Merdeka terkesima. Ia melotot memandangi Bapaknya. Ia belum pernah digebrak seperti itu. Masak putra harapan bangsa disebut goblok dan ditampar.

Sebaliknya bapak Merdeka juga tidak takut. Ia mendekat dan menghembuskan nafas kesalnya. Lalu mencekek leher Merdeka.

“Merdeka!” bisik orang tua itu dengan nafas menggebu-gebu. “Merdeka, apa kamu kira Merdeka itu nikmat? Apa kamu kira merdeka itu bebas dari kesialan. Apa kamu kira Merdeka itu berarti kamu akan mendadak jadi kaya dan bahagia. Kamu memang goblok! Merdeka itu adalah beban. Selangit beban di atas pundakmu sendirian. Merdeka itu adalah penderitaan. Merdeka adalah sejuta kesengsaraan yang tak putus-putusnya. Merdeka berarti kamu jalan sendirian, kamu tidak punya tuan dan majikan yang akan menolongmu kalau celaka. Merdeka itu berarti kamu harus menghadapi keperihan, kesengsaraan, nasib busuk itu sendiri. Merdeka itu sakit. Sakit yang maha besar. Tapi kamu harus bangga karena kamu yang terpilih untuk memikulnya. Berarti kamu dianggap mampu. Kamu masih dipercaya, berarti kamu masih diperhitungkan. Kalau kamu masih diberikan kesengsaraan, berarti kamu masih hidup. Kamu belum jadi mayat, belum jadi robot, belum mati seperti yang lain, berarti kamu masih merdeka. Goblok kalau kamu mau berhenti Merdeka. Mengerti? Mengerti!”

Merdeka bingung.

“Mengerti?!”

“Tidak!”

“Nah!” teriak orang tua itu lebih dahsyat lagi. “Kamu ini merdeka karena kamu masih bisa bilang tidak. Tidak ada orang yang tidak merdeka bisa bilang tidak. Jadi tetaplah merdeka. Sekali merdeka tetap merdeka. Jangan berhenti. Jangan pernah berhenti merdeka, Merdeka. Jangan menyerah. Tetaplah merdeka! Teruskan… hhhhhhhh!!!”

Orang tua itu tercekik. Merdeka kebingungan. Ketika ia mencoba memegangnya, orang tua itu tersentak, lalu jatuh, mati.

Merdeka terkejut. Air matanya lepas bercucuran. Tersedu-sedu ia memegang tubuh tua yang kaku itu.

“Ya Tuhan! Sekarang aku mengerti. Kemerdekaan adalah beban, tetapi beban yang begitu berat adalah kehormatan. Aku harusnya berterimakasih karena terpilih memikul beban itu, berarti aku masih dipercaya. Maaf Romo, mulai sekarang akan aku pikul merdeka itu. Aku bersumpah, tak akan kulepaskan sampai titik darahku yang penghabisan!”

Jasad tua itu tiba-tiba bergetar menerima janji anaknya. Matanya terbuka kembali. Nyalang bercahaya. Kedua tangannya bergerak menggapai pundak Merdeka. Ia menatap anaknya, seperti ketika puluhan tahun ia menatap bayinya yang baru lahir.

“Bagus!” kata bapak Merdeka dengan terharu.

Tapi kemudian jatuh lagi, meneruskan mati.

(Merdeka, Putu Wijaya, 22 April 2000)

9 komentar:

Arif Rahman Rambe, S.Pd. mengatakan...

nice

Unknown mengatakan...

Nice

Abrar RL mengatakan...

VERY nice

Ryzki mengatakan...

Cool

Unknown mengatakan...

Keren๐Ÿ˜Ž

Unknown mengatakan...

Apik temen

Unknown mengatakan...

Nama saya m fadillah

RONI mengatakan...

MAU TANYA KAK, CERPEN INI DAPATNYA DARI MANA YA?

LoRenza Fios mengatakan...

Mau tanya kak pesan dari cerpen di atas apa yak??

Mohon di jawab secepatnya yah๐Ÿ™๐Ÿ™

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More