bisnis

Sabtu, 17 Desember 2011

Cintamu Sepahit Topi Miring

Cintamu Sepahit Topi Miring
karya: Sindhunata
---

Senja di desa Baron
matahari tenggelam dalam kemaron
Lembu betina lari melompat-lompat
dikejar-kejar anaknya yang kecil meloncat
Senja lucu dengan kasih sayang ibu dan anak
langit senja mengandung sapi beranak
terpesona Ranto melihat, ia tertawa bergelak
dan berubah jadi Ranto Gudel, sang pelawak

Jadi Marmoyo di panggung ketoprak
Ranto Gudel meminum arak
Terendam dalam ciu
birahinya berubah jadi biru
Diajaknya Nyai Dasima bercinta
dengan cinta sepahit Topi Miring
Layar dibuka, turun hujan gembukan
Dewi Mlenukgembuk datang
membawa seguling roti cakwe
Marmoyo rebah terguling
tidur di pangkuan Nyai Dasima
yang sekeras ciu cangkol buah dadanya

Ke mana Ranto Gudel pergi
panggung selalu harum dengan arak wangi
Di Sriwedari jadi petruk
Garengnya diajak mabuk
Bagongnya menggeloyor
Semarnya berjualan ciu cangkol
Dengan terang lampu semprong
Pak Mloyo memukul kenong
nong ji, nong ro
giginya ompong menggerong:
Ranto Gudel Mendehem
Nyungsep di Bengawan Solo
di sana ia lalu menyanti:
Itu perahu, riwayatmu dulu
kini sungaimu mengalirkan arak wangi
dengan harumnya aku mandi

Thuyul gundhul ke sana sini mengempit gendul
gendruwo thela-thelo, tampak loyo
jrangkong jalannya miring-miring dhoyong
dhemit setan wedhon
anak-anak Bathari Durga dari bukit Krendhawahana
semuanya mabuk menari-nari:
Sengkuni leda-lede
mimpin baris ngarep dhewe
eh barisane menggok
Sengkuni kok malah ndheprok

Belum selesai menabuh kenong
Nong ji, nong ro
Pak Mloyo pulang geloyoran
Abu-abu wajahnya terendam ciu
Dari jauh Ranto Gudel melihatnya
duduk berjongkok di Bengawan Solo:
Air mengalir sampai jauh
membawa botol-botol cangkol
yang mengapung-apung seperti lampion
nyalanya bundar, seperti kenong
Pak Mloyo terguling ke Bengawan Solo
dengan irama nong ji nong ro
Ranto Gudel tertawa:
Itu perahu botol cangkol
mengalir sampai jauh
akhirnya ke laut berombak ciu

Malam berpayung hitam
hitam dibuka dengan bulan
Ranto Gudel minum arak bekonang
mengantar gadis pulang, berdandan bidan
roknya putih, bajunya putih
serba putih lebih daripada peri
Tiba di pinggir kali
Ranto Gudel diajak belok ke kiri
Rumahnya temaram
kursinya sedingin batu bulan
Birahinya menyentuh dingin
tergeletak ia di atas kijing
Dhemit elek asu tenan
mengumpat Ranto Gudel geram
Ia marah terendam arak bekonang:
Asu, hampir saja aku bercinta dengan setan

Cinta manusia seperti Umbul Penggung
dulu bening sekarang keruh
dulu kerajaan sekarang desa
Ranto Gudel dengan empat istrinya
tak pernah abadi cintanya

Memang enak jadi wedhus daripada manusia
bila mati, manusia dikubur di gundukan tanah
kepalanya dikencingi wedhus yang merumput
Nasib manusia hanyalah sengsara sampai akhirnya
mengapa kita mesti bersusah?
Hiduplah seperti Joko Lelur
siangnya melamun minum limun
malamnya bangun minum berminum
lapen ciu cangkol arak bekonang

Sekarang di sudut-sudut rumah
botol-botol cangkol dipasangnya
untuk menolak dan menakut-nakuti tikus
Di hari tuanya Mbah Ranto mengenang
bayangkan, ciu cangkol hanyalah spiritus
yang bisa mengusir tikus
padahal dulu aku minum sampai lampus:
Aku memang benar-benar wedhus!

Hueek.
Hueeeeek.
Hueeeeeeeek.
Wis wis......

== o ==

puisi: Sindhunata

*puisi ini digunakan sebagai lirik lagu hip-hop oleh Jahanam yang berjudul sama

Sabtu, 03 Desember 2011

MERDEKA (cerpen: Putu Wijaya)


Pada hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan, seorang anak lahir di sebuah kota kecil. Bapaknya, seorang bekas pejuang kemerdekaan, menimang orok itu dengan bangga.

“Selamat datang ke atas dunia. Selamat datang di Indonesia, anakku,” kata lelaki yang bahagia itu. “Kau adalah harapanku, masa depanku dan pewarisku. Aku beri kau nama Merdeka dan jadilah kusuma bangsa. Tulis sejarah yang berbeda dari apa yang sudah aku alami di masa lalu. Merdekakan diri kamu dari segala macam penjajahan, jangan seperti bapakmu ini. Bebaskan negeri ini dari kemiskinan. Merdekakan rakyat dari kesengsaraan akibat kezaliman para pemimpinnya sendiri. Jadilah masa depan kami semua!”

Merdeka kecil, sudah bisa mendengar, tetapi belum bisa menyimak. Ia hanya membuka mulutnya dan tertawa. Bapaknya tersenyum dan berbisik.

“Syukur kamu sudah mendengar apa yang aku katakan. Mudah-mudahan nanti, setelah kamu dewasa dan mengerti apa yang aku katakan, kamu masih bisa tertawa.”

Duapuluh tahun kemudian, Merdeka tumbuh dan dewasa. Ia menjadi seorang anak muda yang gagah. Wajahnya cakap. Otaknya encer. Barangkali juga terlalu cerdas untuk ukuran seusia dia. Ia sangat enerjetik dan suka membantah.

Teman-teman Merdeka semua suka dan segan pada Merdeka. Tetapi guru-gurunya sebaliknya. Mereka kesal.

“Merdeka adalah seorang anak yang hebat. Dia jenius. Dia bisa menjadi pemimpin di masa depan untuk negeri ini. Jenis orang seperti Merdeka sangat kita butuhkan di zaman millenium ini. Tapi sayang dia terlalu PD,” kata guru-gurunya.

“Andaikan saja dia lebih rendah hati sedikit, dia tak ayal lagi bisa menjadi harapan kita semua,” lanjut gurunya yang lain. “Karena di masa globalisasi, ketika kita akan bersaing secara terbuka dengan seluruh dunia, kita memerlukan SDM yang canggih. Merdeka adalah contohnya. Tetapi sayang, dia terlalu cepat matang. Di dalam menuntut ilmu, mula-mula yang diperlukan adalah menyerap, bukan bersikap. Kalau belum apa-apa sudah bersikap, sebagaimana yang dilakukan oleh Merdeka, kita akan konyol. Kita tidak akan mungkin bisa maju. Lihat saja, di dalam ilmu pasti, pada dalil satu dan dua kita harus mau menerima saja dulu, tidak boleh membantah. Nah nanti sesudah dalil tiga boleh pertanyakan apa saja dengan logika. Sesudah menguasai ilmu, perkara mau mendobrak atau melabrak, itu terserah. Tapi tidak mungkin memberontak sebelum menguasai. Jadi Merdeka sudah salah paham.”

Merdeka tidak peduli apa yang dikatakan guru-gurunya. Ia lapar ilmu. Ia buka mulutnya lebar-lebar untuk mereguk. Dia tidak peduli sama sekali apa perasaan guru-gurunya. Kalai ia tak setuju, tanpa pertimbangan lagi ia protes. Tidak pandang tempat dan waktu, ia langsung dobrak.

Sebagai akibatnya, Merdeka dikenal sebagai anak yang berani. Ia ditakuti tetapi sekaligus dikucilkan. Guru-guru ngeper semua kalau ada Merdeka. Akhirnya karena kasus yang sangat sepele, Merdeka dipecat dari sekolah.

Ketika teman-temannya menamatkan pelajaran dan pada mengantongi ijazah, Merdeka hanya mengantongi pengetahuan. Tetapi ia tidak kecil hati. “Aku hanya memerlukan pengetahuan, aku tidak memerlukan ijazah,” katanya. Dengan bekal kepintarannya itu, ia terjun ke masyarakat dan mereguk hidup yang sebenarnya.

Di masyarakat, kenyataan berbeda dengan apa yang dibicarakan di dalam kelas. Walaupun semua orang setuju bahwa ilmu pengetahuan adalah utama, pada prakteknya, yang menentukan orang dapat pekerjaan adalah ijazah. Ke mana Merdeka pergi, dia selalu diminta untuk memperlihatkan ijazahnya sebelum mereka mau membuka pintu. Dan waktu mereka tahu Merdeka tak punya ijazah, pintu langsung ditutup.

“Boleh ngomong besar tapi mana bukti. Mana dokumen rekomendasi?”

Teman-teman Merdeka yang goblok, semua mendapat pekerjaan dan jabatan. Bahkan yang dulu lulus karena membeli ijazah dan nodong kepala sekolah, mendapat posisi penting. Merdeka melihat kejanggalan itu dengan jijik. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Kontan ia mencak-mencak, berkoar menggelar aksi protes. Tetapi kepada siapa? Ternyata semua orang hanya mengaku menyuarakan keadilan dan kebenaran. Bila waktunya tiba untuk menunjukkan aksi, semuanya punya alasan untuk menghindar. Bahkan surat-surat kabar yang paling vokal, tak berani memuat gugatannya, ketika itu menyentuh orang yang berkuasa yang mampu menyumpalnya dengan duit.

“Kalian semua hanya ngomong-ngomong muluk, prakteknya semua dagang. Segala kegombalan yang kalian maki-maki, nyatanya kalian kaji sendiri!” teriak Merdeka.

Merdeka mulai marah dan benci pada kehidupan, karena hidup berpihak pada ketidakadilan. Ia menjadi sinis dan apatis. Dunia yang dibayangkannya sebagai lautan harapan, sekarang sudah menjadi sarang kebobrokan. Masa depan hanya enak dalam obrolan, pada kenyataannya semua kentut.

Tetapi untunglah tidak semua yang hitam itu hitam. Rupanya di dalam belantara kebrengsekan itu, masih ada orang-orang yang idealis. Setelah kepalanya bonyok ditonjok oleh rasa kesal, Merdeka bertemu dengan seorang yang berpihak pada kebenaran.

“Memang ijazah itu perlu, karena itulah satu-satunya yang bisa jadi pegangan kita untuk memilih orang terbaik. Tetapi diploma sekarang gampang saja dipalsu. Dan keunggulan yang digaransi oleh sebuah ijazah pun hanya keunggulan di sekolah, sedangkan kita menggarap hidup keras di lapangan yang memerlukan siasat. Sesuatu yang lupa diajarkan di sekolah mana pun. Jadi saudara Merdeka, jangan merasa kesepian. Aku tidak buta. Aku melihat potensimu. Persetan dengan ijazah, bukan orang-orang yang bertopeng ijazah itu yang akan memperbaiki negeri ini, tetapi SDM hebat seperti kamu!”

Merdeka lantas dirangkulnya. Diberikan tanggungjawab untuk memimpin sebuah proyek raksasa yang menentukan nasib berjuta-juta orang. Merdeka disodori jabatan, kekuasaan dan harapan. Merdeka kontan sembuh. Ia terima jabat tangan itu dan siap hendak berpacu.

Tetapi apa lacur, pada hari pengangkatannya sebagai panglima proyek, orang yang merangkulnya muncul membawa segepok uang. Dengan muka manis tetapi malu-malu, ia menarik Merdeka ke sudut.

“Merdeka,” katanya seperti suara orang yang bersalah, “kita semua tahu, setiap orang mencari pekerjaan, untuk mendapatkan uang. Betul tidak?”

Merdeka mengangguk. Betul.

“Nah, berarti kamu juga bekerja untuk mendapatkan uang. Kalau uang yang kamu cari itu sudah kamu dapatkan, buat apa lagi pekerjaan. Ya kan? Jadi, lihat aku bawakan kamu uang banyak sekali. Terimalah uang ini. Dan serahkan jabatan yang sudah ada di tanganmu ini kembali kepadaku. Karena ada seorang anak pejabat yang memerlukan itu. Ia punya duit. Banyak sekali. Tetapi ia tidak punya kehormatan karena tidak ada jabatan. Ia membeli jabatan kamu. Jadi terimalah! Kamu untung dan aku juga untung!”

Tanpa menunggu jawaban lagi, jabatan itu diambilnya kembali sambil menaruh segepok uang di tangan Merdeka. Sebelum Merdeka bisa mencegahnya ia sudah kabur. Merdeka menjadi histeris. Uang itu dicampakannya sambil mengumpat.

“Bangsat! Aku memang perlu uang. Aku tahu untuk hidup orang membutuhkan uang. Tapi aku tidak hidup untuk mencari uang. Aku cari uang untuk hidup. Dan aku hidup untuk menjalankan amanat bapakku untuk membangun bangsa ini. Untuk menjadi manusia yang berarti dan berbuat kebajikan kepada negeri dan rakyatku!”

Suara Merdeka lantang dan jelas. Tapi orang idealis itu sudah ngibrit entah ke mana. Tinggal Merdeka yang sekarang benar-benar merasa nasibnya sangat sialan. Ia berteriak-teriak karena tak mampu lagi menahan dirinya. Orang-orang bilang bahwa anak muda itu sudah mulai terganggu.

“Kamu kelihatannya frustasi Merdeka,” kata seorang sahabat. “Di zaman edhan ini, siapa yang tidak frustasi. Kalau kamu ikutkan perasaanmu kamu akan gila. Tetapi semua orang memang sudah gila. Kamu tidak akan menjadi istimewa karena menjadi gila. Lebih baik kamu lawan semua itu!”

“Lawan? Lawan dengan apa? Musuhku tidak kelihatan. Kalau ada aku hajar sekarang juga!”

“Lawan dengan cara menerimanya! Pasrah!”

“Tidak! Aku tidak mau jadi orang Jawa yang nrimo. Itu sudah kuno! Aku manusia baru. Aku bukan proyek feodalisme yang mau saja menjadi budak segala ketidakadilan ini. Aku mau berontak!”

“Tidak mungkin! Orang gila tidak mungkin berontak. Paling banter kamu akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Kalau mau berontak jangan pakai otot, pakai mulut dan diplomasi. Belajar dari para politisi. Untuk menguasai diplomasi pikiran kamu harus tenang. Dan untuk tenang jiwa kamu harus stabil. Untuk membuat emosimu stabil, kamu harus punya seorang pendamping. Walhasil, Merdeka, satu-satunya jalan yang bisa kamu pilih sekarang adalah: kawin. Kawinlah Merdeka, sebelum terlambat!”

Merdeka terkejut.

“Apa? Kawin?”

“Ya! Menikah! Apa kamu tidak sadar bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Setiap manusia wajib punya teman hidup. Baik untuk menyalurkan kebutuhan biologis maupun untuk berkomplot. Kalau kamu tetap sendiri, kamu akan menjadi manusia separuh yang tidak lengkap. Emosimu akan labil. Dan staminamu hanya sebatas ayam sayur. Jatidirimu akan kropos. Dan kamu akan gim. Makanya, cepat-cepat saja, carilah seorang teman hidup. Berkongsi, melawan semua kebejatan dunia ini. Kalau tidak kamu akan terlambat. Coba umurmu sudah berapa sekarang? Jangan terlalu sibuk berjuang, nanti kamu keburu tua dan tidak jadi apa-apa! Apa kamu mau kedaluwarsa?”

Merdeka terkejut. Buru-buru ia berdiri di depan kaca. Lalu dilihatnya sebilah rambut putih berkibar di kepalanya. Garis-garis tua mulai turun di wajahnya. Ia tidak semuda yang ia kira lagi. Merdeka terpaksa menerima, apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu.

Lalu tanpa berpikir panjang lagi, Merdeka melamar pacarnya untuk menikah. Pacar Merdeka menyambut lamaran itu dengan senang. Setelah bertahun-tahun dan hampir kehilangan kesabaran, akhirnya Merdeka berani mengambil keputusan. Siap untuk mengambil resiko melepaskan kebebasannya, untuk memasuki status suami-istri.

Tetapi celaka tiga belas. Meskipun dukungan pacarnya seratus persen, calon mertua Merdeka bertingkah. Mereka yang semula menerima Merdeka, tiba-tiba menolak. Alasannya bagi Merdeka sama sekali tak masuk akal.

“Kamu mau menikah dengan putri tunggalku, Merdeka?” tanyanya. “Kenapa? Karena kalian saling mencintai? Apa kamu tidak tahu, cinta saja tidak cukup untuk hidup? Dalam waktu tiga bulan kamu akan bosan mengisap cinta, lalu kesulitan hidup akan mengisap kamu. Kamu memerlukan duit dan jabatan. Itulah sumber kesuksesan dan kebahagiaan. Tidak. Kamu tidak bisa menikah dengan putriku, kalau kamu tidak bisa memberikan janji yang baik. Hendak kamu bawa ke mana putri tunggalku ini. Buktikan dulu bahwa aku pantas menyerahkan anakku kepadamu. Jangan suruh aku bersabar dan menunggu. Kalau kamu tidak bisa memberikan jaminan bahwa kamu akan bisa membahagiakan dia jasmani dan rohani, relakan putriku dengan orang lain. Atau jangan-jangan kamu tertarik bukan kepada putriku, tetapi kepada warisannya. Kepada kekayaan dan jabatanku. Kalau begitu, maaf anak muda, sekarang juga minggat, tinggalkan rumah ini dan jangan berani kembali, karena aku akan tembak kepalamu!”

Merdeka pingsan. Belum pernah ia menerima kenyataan yang begitu parah.

“Aku manusia sial. Aku ditakdirkan menjadi orang gagal,” teriak Merdeka putus asa. Pikirannya benar-benar mulai terganggu. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan, apa yang harus dilakukan.

Akhirnya dalam keadaan panik dan terjepit, Merdeka datang kepada seorang dukun. Ya, dukun. Kenapa tidak. Meskipun ini zaman millenium, banyak orang masih pergi ke dukun. Para pejabat juga ke dukun. Olahragawan ke dukun. Para politikus ke dukun. Presiden juga ada yang punya dukun. Bahkan seniman juga ada yang malahan jadi dukun itu sendiri.

Dukun memegang tangan Merdeka dan membaca nasibnya.

“Sebenarnya menurut skenario, kamu ini orang jenius, seperti Pak Habibie, Merdeka,” kata dukun. “Pada dasarnya kamu adalah manusia hebat. Kamu bisa menjadi pemimpin bangsa ini di masa depan. Di dalam tubuhmu mengalir darah kesatria yang berwarna putih. Tetapi sayang pada prakteknya, kamu tidak jadi apa-apa, karena sajenmu kurang!”

“Sajen? Sajen apa?”

“Kamu tahu. Segala sesuatu itu memerlukan sajen. Otak saja tidak cukup, kepintaran saja tidak menjamin. Bahkan kelihaian juga bukan kartu kunci untuk membuat kamu sukses. Kamu memerlukan keikhlasan. Kamu harus ikhlas. Ikhlas berarti kamu tulus. Tulus berarti kamu harus rela. Rela untuk berkorban. Kamu harus mengorbankan apa yang diperlukan. Kamu tidak akan bisa sukses kalau kamu tidak berani berkorban dengan ikhlas, Merdeka!”

Merdeka terkejut.

“Berkorban? Berkorban apa? Ini sudah zaman merdeka, kita tidak memerlukan pengorbanan jiwa lagi seperti di masa revolusi seperti Bapakku. Kita memerlukan pekerja-pekerja lapangan yang canggih. Dan aku canggih. Aku tidak mau mengorbankan jiwaku. Aku mau berbakti kepada bangsa, negara dan rakyatku. Kamu jangan macam-macam, Duk!”

“Tenang Merdeka, pengorbanan ini bukan pengorbanan fisik. Ini adalah pengorbanan spiritual. Dengan berkorban, tidak berarti kamu akan kehilangan apa-apa. Kamu hanya harus mengikhlaskan dirimu kehilangan namamu. Tukar namamu sekarang. Ganti nama kamu. Jangan lagi Merdeka. Itu terlalu besar, terlalu berat untuk kamu pikul sendirian. Tidak mungkin. Kalau kamu memikulnya kamu akan terlalu sibuk memikul dan tidak akan bisa berbuat apa-apa. Jadi lepaskan saja. Ganti dengan yang lain. Oper Merdeka itu dengan sesuatu yang lebih ringan. Apa artinya nama. Ya tidak?”

Merdeka tidak setuju.

“Mengganti nama? Tidak. Tidak mungkin,” katanya. “Nama ini pemberian bapakku. Dia seorang pejuang yang hebat. Dia orang yang jujur. Dia sudah berjasa kepada negeri ini, tetapi dia tidak punya uang. Dia tidak punya pabrik. Dia tidak punya kekuasaan. Dia hanya punya cita-cita dan konsep. Dan semua itu dia wariskan kepadaku. Aku tidak bisa mengganti apa yang diwariskan oleh orang tuaku begitu saja. Karena itu adalah amanat. Aku tidak mau menjadi manusia durhaka!”

Dukun menggeleng.

“Memang susah bicara dengan orang pinter tetapi picik seperti kamu, Merdeka!” katanya sambil mengusir Merdeka supaya pergi, karena pasien-pasiennya yang lain berjubel.

Merdeka pulang sambil mencak-mencak uring-uringan. Berhari-hari ia bergulat dengan usul dukun itu. Pada hari yang ketujuh puluh, ia kalah. Lalu sambil mengenakan baju batik ia berangkat ke rumah orang tuanya.

“Romo,” kata Merdeka sambil mencium tangan bapaknya yang sudah tua. “Aku datang untuk melaporkan apa yang sudah terjadi di lapangan. Terus terang aku sudah gagal. Tetapi bukan berarti aku menyerah. Aku terus berusaha. Aku datang bukan untuk minta bantuan. Aku datang hanya untuk meminta restu. Karena aku ingin mengganti nama yang sudah bapak berikan.”

Lelaki tua itu mengernyitkan alisnya.

“Mengganti nama? Apa maksudmu Merdeka?”

“Dukun bilang, nasibku jadi sial, karena namaku terlalu berat. Kalau aku ganti nama itu dengan nama lain, dalam sekejap aku akan menjadi orang baru yang sukses. Jadi apa salahnya kalau namaku diganti. Aku juga tidak akan memilih nama sendiri. Aku serahkan kepada Romo untuk memberiku petunjuk.”

Mata orang tua itu sekarang terbuka.

“Kamu mau berhenti menjadi Merdeka, Merdeka?”

“Ya.”

“Kenapa?”

“Kenapa?”

“Ya! Kenapa!” bentak orang tuanya.

Merdeka tertegun. Waktu kecil ia tidak peduli kalau dibentak. Tetapi sekarang ia sudah dewasa, sudah jauh lebih pintar dari bapaknya, di samping itu hidupnya sudah pahit, ia tidak mau lagi dibentak.

“Karena aku tidak mau terus-menerus sial!” teriak Merdeka.

Tetapi orang tuanya semakin keras lagi mendamprat.

“Tidak!”

“Kenapa tidak!”

“Pokonya tidak!”

“Ya.”

“Tidak!”

“Yaaaaaa!”

“Tidakkkkkk!”

“Brengsek!” teriak Merdeka kelepasan. “Bapak kan tidak tahu apa yang sudah terjadi di lapangan. Aku yang berkutat di sana. Aku tahu apa yang aku lakukan. Aku yang mengalami apa yang terjadi. Sekolahku jebol, gara-gara aku Merdeka. Jabatan-jabatan copot dan luput dari tanganku gara-gara aku Merdeka. Bahkan pacarku direbut orang lain gara-gara aku Merdeka. Dukun juga bilang aku goblok, karena aku Merdeka. Aku tidak mau jadi Merdeka lagi. Sudah cukup! Aku tidak mau diperintah terus. Aku mau bebas dari Merdeka! Aku mau sukses, aku mau bahagia, aku mau berhasil, aku tidak mau lagi jadi Merdeka!”

“Goblok!” teriak bapak Merdeka sambil menampar anaknya.

Merdeka terkesima. Ia melotot memandangi Bapaknya. Ia belum pernah digebrak seperti itu. Masak putra harapan bangsa disebut goblok dan ditampar.

Sebaliknya bapak Merdeka juga tidak takut. Ia mendekat dan menghembuskan nafas kesalnya. Lalu mencekek leher Merdeka.

“Merdeka!” bisik orang tua itu dengan nafas menggebu-gebu. “Merdeka, apa kamu kira Merdeka itu nikmat? Apa kamu kira merdeka itu bebas dari kesialan. Apa kamu kira Merdeka itu berarti kamu akan mendadak jadi kaya dan bahagia. Kamu memang goblok! Merdeka itu adalah beban. Selangit beban di atas pundakmu sendirian. Merdeka itu adalah penderitaan. Merdeka adalah sejuta kesengsaraan yang tak putus-putusnya. Merdeka berarti kamu jalan sendirian, kamu tidak punya tuan dan majikan yang akan menolongmu kalau celaka. Merdeka itu berarti kamu harus menghadapi keperihan, kesengsaraan, nasib busuk itu sendiri. Merdeka itu sakit. Sakit yang maha besar. Tapi kamu harus bangga karena kamu yang terpilih untuk memikulnya. Berarti kamu dianggap mampu. Kamu masih dipercaya, berarti kamu masih diperhitungkan. Kalau kamu masih diberikan kesengsaraan, berarti kamu masih hidup. Kamu belum jadi mayat, belum jadi robot, belum mati seperti yang lain, berarti kamu masih merdeka. Goblok kalau kamu mau berhenti Merdeka. Mengerti? Mengerti!”

Merdeka bingung.

“Mengerti?!”

“Tidak!”

“Nah!” teriak orang tua itu lebih dahsyat lagi. “Kamu ini merdeka karena kamu masih bisa bilang tidak. Tidak ada orang yang tidak merdeka bisa bilang tidak. Jadi tetaplah merdeka. Sekali merdeka tetap merdeka. Jangan berhenti. Jangan pernah berhenti merdeka, Merdeka. Jangan menyerah. Tetaplah merdeka! Teruskan… hhhhhhhh!!!”

Orang tua itu tercekik. Merdeka kebingungan. Ketika ia mencoba memegangnya, orang tua itu tersentak, lalu jatuh, mati.

Merdeka terkejut. Air matanya lepas bercucuran. Tersedu-sedu ia memegang tubuh tua yang kaku itu.

“Ya Tuhan! Sekarang aku mengerti. Kemerdekaan adalah beban, tetapi beban yang begitu berat adalah kehormatan. Aku harusnya berterimakasih karena terpilih memikul beban itu, berarti aku masih dipercaya. Maaf Romo, mulai sekarang akan aku pikul merdeka itu. Aku bersumpah, tak akan kulepaskan sampai titik darahku yang penghabisan!”

Jasad tua itu tiba-tiba bergetar menerima janji anaknya. Matanya terbuka kembali. Nyalang bercahaya. Kedua tangannya bergerak menggapai pundak Merdeka. Ia menatap anaknya, seperti ketika puluhan tahun ia menatap bayinya yang baru lahir.

“Bagus!” kata bapak Merdeka dengan terharu.

Tapi kemudian jatuh lagi, meneruskan mati.

(Merdeka, Putu Wijaya, 22 April 2000)

Sabtu, 12 November 2011

GEBYAR 100 PUISI PAHLAWAN - PAHLAWAN KESIANGAN TERLALU SIANG

PAHLAWAN KESIANGAN TERLALU SIANG


: untuk para pahlawan yang kesiangan terlalu siang


masih menggenang air liurmu para pahlawan.

ompolmu masih kuning dan hangat di atas kasur.


ah, mengaku pahlawan tapi tak tahu sejarah.

buat apa kau jadi pahlawan?


kalian-kalian adalah pahlawan.

ya, pahlawan.

pahlawan kesiangan yang terlalu siang.


hai, muda-mudi yang tengah meminum kencing kuda di pojok sekolah.

buat kalian yang lagi isap kentut setan di halte bus kota.

cobalah kalian bikin kita semua sesak.

berlarut-larut gelisah kami berada di ujung kepala.

kalian masih bahagia dengan botol dan tabung tembakau.


kalian-kalian adalah pahlawan.

pahlawan kesiangan yang terlalu siang.


kenapa kalian pahlawan?

karena seragam sekolah yang kalian kenakan itu.

apalah artinya masa depan,

bila kau terus konsumsi obatobatan

apalah artinya harapan,

bila kau terus kesiangan.


Purbalingga, 13 November 2011

masih ada aroma pahlawan

---------------------------------------------------------------------------------------------

Biodata Penulis:


Satya Panggayuh. Adalah manusia biasa yang terlahir pada tanggal 27 September 1997. Sekarang sedang mengunyah pendidikan di SMP N 1 Padamara tepatnya kelas IX. Sekarang tinggal di Perum Abdi Negara, Bojanegara, Purbalingga – Jawa Tengah.


Mulai menulis sejak kelas 6 SD. Pernah mengikuti lomba cipta puisi sewaktu di SD dan mendapat juara ke-2 se-kabupaten Purbalingga. Juga pernah mengikuti lomba baca puisi, hasilnya lumayan, mendapatkan juara harapan 3. Di kelas VIII juga pernah mengikuti lomba cipta puisi, hasilnya adalah juara 3 se-kabupaten dan mendapat uang pembinaan/beasiswa yang cukup banyak.

-----------------------------------------------------------------------------------------------

DL: 13 November pukul 24.00 WIB

Caranya:

  1. Terbuka untuk semua anak bangsa, umum dan anggota Writing Revolution.
  2. Puisi ditulis di Catatan FB atau Blog. Tulis di judul Catatan/Blog: GEBYAR 100 PUISI PAHLAWAN-JUDUL PUISI
  3. Cantumkan biodata singkat di bagian bawah puisinya, beserta informasi ini.
  4. Kemudian copas link Catatan/Blog ke Komentar Dokumen ini, klik di sini: http://www.facebook.com/groups/193036474070096/doc/282954575078285/
  5. Batas akhir partisipasi sampai 13 November pukul 24.00 WIB
  6. Sepuluh (10) puisi terpilih akan dimasukan dalam buku antologi Puisi Pilihan WR 2011 "Merah Darah, Putih Puisi", yang akan terbit Desember 2011. Royalti hasil penjualan buku untuk biaya cetak buku puisi iven selanjutnya.
  7. Koordinator: Anung D'Lizta dan Nyi Penengah Dewanti.

Semangat Pagi...!

Salam Penulis...!

Satu cinta untuk Indonesia.


Apa itu SEA GAMES?


Pada hari Jum'at (11/11) malam lalu, Pesta Olahraga Negara-Negara Asia Tenggara atau yang lebih dikenal dengan SEA Games (South East Asia Games) resmi dibuka. Apa itu SEA Games? Mari kita ulas lebih dalam disini.

Sejarah

SEA Games adalah peristiwa multiolahraga duatahunan. Acara ini melibatkaan 11 negara-negara anggota Association of South East Asia Nation (ASEAN). Perayaan ini diatur di bawah peraturan Federasi Sea Games dengan pengawasan oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC) dan Dewan Olimpiade Asia.

Sea Games sebelumnya dikenal sebagai Pesta Olahraga Semenanjung Asia Tenggara atau SEAP Games (Southeast Asian Peninsular Games). Pada tanggal 22 Mei 1958, delegasi dari negara-negara di semenanjung Asia Tenggara menghadiri Asian Games ke-3 di Tokyo, Jepang mengadakan pertemuan dan sepakat untuk membentuk sebuah organisasi olahraga.

Thailand, Burma (sekarang Myanmar), Malaya (sekarang Malaysia), Laos, Vietnam Selatan dan Kamboja (dengan Singapura termasuk sesudahnya) adalah anggota pendiri. Negara-negara ini sepakat untuk mengadakan pesta olahraga negara-negara Asia Tenggara dua kali setahun. Komite Federasi SEAP Games dibentuk.

SEAP Games pertama diadakan di Bangkok 12-17 Desember 1959 yang terdiri lebih dari 527 atlet dan pelatih atau manajer dari Thailand, Burma, Malaya (sekarang Malaysia), Singapura, Vietnam dan Laos yang berpartisipasi dalam 12 cabang olahraga.

Pada SEAP Games VIII tahun 1975, Federasi SEAP mempertimbangkan masuknya Indonesia dan Filipina. Kedua negara ini masuk secara resmi pada 1977, dan pada tahun yang sama Federasi SEAP berganti nama menjadi Southeast Asian Games Federation (SEAGF), dan ajang ini menjadi Pesta Olahraga Negara-Negara Asia Tenggara. Brunei dimasukkan pada Pesta Olahraga Negara-Negara Asia Tenggara X di Jakarta, Indonesia, dan Timor Leste di Pesta Olahraga Negara-Negara Asia Tenggara XXII di Hanoi, Vietnam.

Pertandingan terakhir yang diadakan adalah Sea Games 2009 (berjalan 9-18 Desember) yang merupakan pertama kalinya diadakan di Laos. Saat yang sama juga diperingati perayaan ke 50 tahun SEA Games, di Vientiane, Laos. Tuan rumah berikutnya untuk Sea Games 2011 Tenggara adalah Indonesia. Pesta olahraga ini dimulai dan berkembang sebagian besar lancar sehingga pujian dan kesan baik diungkapkan oleh banyak atlet, pejabat olahraga dan pers- karena Laos dan negara yang tergabung di Asia Tenggara telah berhasil menjadi tuan rumah Sea Games.

Lokasi

Southeast Asian Peninsular Games

Tahun Acara Tuan rumah Negara Juara Umum
1959 I Bangkok Bendera Thailand Thailand Bendera Thailand Thailand
1961 II Rangoon Bendera Myanmar Burma Bendera Myanmar Burma
1963 dibatalkan Phnom Penh Bendera Kamboja Kamboja Bendera Thailand Thailand
1965 III Kuala Lumpur Bendera Malaysia Malaysia Bendera Thailand Thailand
1967 IV Bangkok Bendera Thailand Thailand Bendera Thailand Thailand
1969 V Rangoon Bendera Myanmar Burma Bendera Myanmar Burma
1971 VI Kuala Lumpur Bendera Malaysia Malaysia Bendera Thailand Thailand
1973 VII Singapura Bendera Singapura Singapura Bendera Thailand Thailand
1975 VIII Bangkok Bendera Thailand Thailand Bendera Thailand Thailand

SEA Games

Tahun Acara Tuan rumah Negara Juara umum
1977 IX Kuala Lumpur Bendera Malaysia Malaysia Bendera Indonesia Indonesia
1979 X Jakarta Bendera Indonesia Indonesia Bendera Indonesia Indonesia
1981 XI Manila Bendera Filipina Filipina Bendera Indonesia Indonesia
1983 XII Singapura Bendera Singapura Singapura Bendera Indonesia Indonesia
1985 XIII Bangkok Bendera Thailand Thailand Bendera Thailand Thailand
1987 XIV Jakarta Bendera Indonesia Indonesia Bendera Indonesia Indonesia
1989 XV Kuala Lumpur Bendera Malaysia Malaysia Bendera Indonesia Indonesia
1991 XVI Manila Bendera Filipina Filipina Bendera Indonesia Indonesia
1993 XVII Singapura Bendera Singapura Singapura Bendera Indonesia Indonesia
1995 XVIII Chiang Mai Bendera Thailand Thailand Bendera Thailand Thailand
1997 XIX Jakarta Bendera Indonesia Indonesia Bendera Indonesia Indonesia
1999 XX Bandar Seri Begawan Bendera Brunei Brunei Bendera Thailand Thailand
2001 XXI Kuala Lumpur Bendera Malaysia Malaysia Bendera Malaysia Malaysia
2003 XXII Hanoi Bendera Vietnam Vietnam Bendera Vietnam Vietnam
2005 XXIII Manila Bendera Filipina Filipina Bendera Filipina Filipina
2007 XXIV Nakhon Ratchasima Bendera Thailand Thailand Bendera Thailand Thailand
2009 XXV Vientiane Bendera Laos Laos Bendera Thailand Thailand
2011 XXVI Jakarta dan Palembang Bendera Indonesia Indonesia

Akan datang

Tahun Acara Tuan rumah Negara Juara umum
2013 XXVII Naypyidaw Bendera Myanmar Myanmar
2015 XXVIII Penang[1] Bendera Malaysia Malaysia[2]
2017 XXIX Bandar Seri Begawan Bendera Brunei Brunei Darussalam[2]
2019 XXX Manila Bendera Filipina Filipina[2]
2021 XXXI Phnom Penh Bendera Kamboja Kamboja[2]
2023 XXXII Ho Chi Minh City Bendera Vietnam Vietnam[2]
2025 XXXIII ? Akan diumumkan
2027 XXXIV ? Akan diumumkan

SEA Games di Indonesia

Indonesia sudah tiga kali tercatat sebagai tuan rumah untuk ajang olahraga seAsia Tenggara ini, yaitu SEA Games ke-10 1979, ke-14 1987 dan ke-19 1997. Selama tiga kali penyelenggaraan, Indonesia selalu menjadi juara umum.

Untuk SEA Games ke-26, Indonesia kembali terpilih sebagai tuan rumah. Berbeda dengan tiga ajang sebelumnya yang pernah diadakan di Indonesia, SEA Games ke-26 ini akan diadakan di empat propinsi di Indonesia: DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatra Selatan. Pemerintah daerah propinsi Sumatra Selatan menyataakan kesiapannya untuk meyelenggarakan upacara pembukaan dan penutupan.

Berikut adalah cabang-cabang olahraga yang akan di setiap propinsi:

1. Propinsi DKI Jakarta, dengan cabang olahraga: Cycling (Track), Basketball, Futsal, Pencak Silat, Tennis, Table Tenis, Badminton, Fencing, Judo, Sailing, Kempo, Football (satu Pool)

2. Propinsi Jawa Barat, dengan cabang olahraga : Aquatic (Swimming, Diving), Taekwondo, Canoeing, Rowing, Traditional Boat Race, Dancesport, Chess, Volleyball (Indoor, Beach), Karate, Baseball, Softball, Bowling, Equestrian, Cycling (Road Race, Mountain Bike).

3. Propinsi Sumatera Selatan, dengan cabang olahraga: Football (satu pool), Wrestling, Gymnastic, Wushu, Powerlifting, Weight lifting, Aquatic (Synchronizes Swimming, Water Polo), Athletic, Wall Climbing.

4. Propinsi Jawa Tengah, dengan cabang olahraga: Archery, Boxing, Billiards/Snooker, Sepak Takraw, Shooting, Roller Skating dan cabang-cabang olahraga Para SEA Games.

Logo dan maskot

Logo resmi SEA Games 2011 adalah guratan-guratan yang menyerupai burung garuda, lambang negara Indonesia

Logo SEA Games 2011 adalah burung Garuda yang juga merupakan lambang negara Indonesia. Garuda secara fisik melambangkan kekuatan dan kepak sayapnya mempresentasikan kemegahan dan kejayaan. Tarikan guratan hijau berbentuk gunung melambangkan alam pegunungan Indonesia dan di bagian bawah guratan gelombang berwarna biru melambangkan samudera nusantara. Warna merah di kepalanya melambangkan keberanian dan semangat membara untuk memberikan hasil yang terbaik bagi bangsa. Disamping itu, burung Garuda di ranah Global dikenal secara luas dan langsung terasosiasikan dengan Indonesia. Logo ini diperkenalkan dalam Pertemuan Menteri dalam Rangka Persiapan SEA Games di Jakarta, 3 Desember 2010 dan diluncurkan tepat 300 hari sebelum SEA Games XXVI, 15 Januari 2011 di Teater Tanah Airku, Taman Mini Indonesia Indah.

Maskot

Maskot SEA Games 2011 'Modo dan Modi'

Maskot resmi SEA Games 2011 ini adalah Modo dan Modi, sepasang komodo. Maskot ini diadopsi dari binatang komodo sebagai hewan purba endemik kebanggaan Indonesia, yang terdapat di Taman Nasional Komodo, meliputi pulau Komodo, pulau Rinca, dan pulau Padar, Nusa Tenggara Timur. Modo adalah komodo jantan yang mengenakan kostum tradisional Indonesia berwarna biru dengan selempang sarung batik. Sementara, Modi adalah komodo betina yang mengenakan kebaya merah juga dengan selendang dan kain batik. "Modo" adalah singkat dari nama Komodo, sementara "Modo-Modi" adalah ejaan modifikasi dari Muda-Mudi yang berarti "pemuda-pemudi", dalam bahasa Indonesia yang berarti remaja-remaja Indonesia. Modo dan Modi ini mempunyai sifat pekerja keras, jujur, adil, ramah, bersahabat, dan sportif. Sifat Modo dan Modi yang serba positif dan mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia ini diharapkan dapat melestarikan keharmonisan kerjasama dan persahabatan sesama negara peserta SEA Games. Maskot ini telah diperkenalkan tepat 200 hari sebelum SEA Games XXVI yaitu pada hari Senin, 25 April 2011 di Teater Tanah Airku, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, dan di Monumen Selamat Datang di Jakarta Pusat.

Sebelumnya, pemerintah Palembang telah memilih gajah sumatera sebagai maskot melalui sebuah sayembara terbuka, tapi ada saran dari Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan KONI untuk menggunakan burung Rajawali. Setelah terpilihnya komodo, maka gagasan maskot gajah sumatera maupun rajawali disingkirkan. Keputusan untuk memilih Komodo sebagai maskot SEA Games 2011 ini, dipilih sebagai upaya Indonesia untuk mempromosikan Taman Nasional Komodo sebagai kandidat Tujuh Keajaiban Alam Dunia.

Kebijakan lingkungan

Pemerintah Sumatera Selatan menjanjikan penyelenggaraan SEA Games yang berwawasan lingkungan dan bebas rokok karena tema SEA Games kali ini adalah Go Green!

dari beberapa sumber

Udah tahu kan, apa itu SEA Games? Nah, harapannya di SEA Games ke XXVI Indonesa, Jakarta-Palembang, semoga Indonesia berhasil menjadi juara umum dan meraih emas sebanyak-banyaknya. GO FOR GOLD!!!

(sp)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More